Joki skripsi menjadi bisnis yang meraup untung hingga minimal Rp 50 juta per bulan. Penyedia jasa ini tumbuh subur, salah satunya karena mahasiswa yang menganggap dosen pembimbing tak kompeten.

isnis joki skripsi bak jamur pada musim hujan. Pertumbuhannya pesat karena jumlah permintaan kian tinggi. Salah satu yang memanfaatkan peluang dari kebutuhan mahasiswa tersebut ialah Yanto—bukan nama sebenarnya. Dia membangun bisnis ini sejak 2010. Kini jumlah karyawannya sudah 60 orang dan keuntungannya menggiurkan.

“Ya sebulan minimal Rp 50 jutaan itu ada,” kata Yanto kepada reporter detikX menjelaskan nilai nominal keuntungannya. Padahal Yanto mengaku sangat selektif memilah klien.

Yanto membagi tugas berdasarkan latar belakang pengetahuan karyawannya yang berbeda-beda. “Ya kalau ngerjain skripsi anak hukum dari latar belakang sarjana hukum, skripsi pendidikan ya anak dari latar belakang pendidikan. Jadi kami profesional, disesuaikan dengan kompetensi masing-masing,” ujarnya.

Hanya dengan mengetik kata kunci ‘jasa skripsi’ di pencarian Google, calon klien dapat dengan mudah menemukan jasa yang ditawarkan Yanto. Sebab, selain promosi ‘dari mulut ke mulut’, pria asal Malang ini menjaring klien melalui beberapa website dengan nama domain yang berbeda-beda.

Dalam proses ‘menjahit’ skripsi, Yanto tak mau kliennya pasif. Karyawan siap dimintai konsultasi selama jam kerja.

“Kita nggak terima sistem tinggal beres,” lanjut Yanto. “Mau ke kantor ya silakan, mau Zoom silakan.”

Yanto mengaku sempat beberapa kali diancam akan dilaporkan ke polisi gara-gara kliennya merasa tidak puas akan pengerjaannya. “Ya silakan saja lapor ke polisi. Kan kami punya bukti chat, kami sudah ngasih konsultasi dan ngasih hasilnya juga. Itu kan ada nilai pertukarannya,” katanya.

Selain Yanto, Wahid—bukan nama sebenarnya—memiliki bisnis serupa. Semasa kuliah, Wahid bukanlah mahasiswa yang memiliki nilai cemerlang. Dia sering harus mengulang mata kuliah. Akhirnya ia bisa lulus dengan susah payah. Ia mesti menjalani masa perkuliahan selama lima setengah tahun.

Meski begitu, semenjak lulus, pria 24 tahun ini membuka jasa pengerjaan skripsi untuk orang-orang sekitarnya. Berawal dari menjadi asisten joki seniornya, kini ia membuka jasa pengerjaan skripsi secara mandiri.

Klien Wahid bervariasi, dari mahasiswa perguruan tinggi negeri, swasta, hingga kedinasan. Satu babnya, Wahid memasang harga Rp 1 juta. Berarti, dari satu skripsi, pria asal Bandung ini mampu memperoleh Rp 5-6 juta.

“Situasional. Kalau (butuh) cepet gitu, per babnya nambah gopek (Rp 500 ribu). Cuma kan ini gua komitmen sampai ujian. Revisi juga tetep gua yang ngerjain,” katanya kepada reporter detikX.

Pola kerja Wahid pun bisa dibilang cukup sederhana. Dia memilah-milah draf skripsi dari calon klien yang menurutnya memungkinkan untuk digarap. Dari situ, bermodalkan pencarian di Google, Wahid kemudian memasukkan jurnal-jurnal yang sekiranya berhubungan ke dalam website mesin pengolah parafrasa.

Dari situ, Wahid kemudian tinggal mengopi dan merapikan format penulisan. Namun, jika referensi jurnal atau buku berbahasa Inggris, Wahid menerjemahkannya menggunakan Google Translate, lalu memparafrasakannya menggunakan website generator.

Cara mudah lainnya, jika ada kesamaan tema skripsi dengan klien sebelumnya, Wahid mengaku sering mencaplok isi skripsi tersebut.

“Nggaklah, ngapain (harus baca dan memahami teori). Gua langsung pakai web generator gitu buat parafrasa. Jadi gue masukin per paragraf, terus entar gua rapiin lagi. Kalau ada kesamaan sama skripsi lain, gue comot, terus jurnal juga,” ujarnya.

Meski hal itu mudah, Wahid memastikan bakal berkomitmen mengerjakan skripsi hingga kliennya dinyatakan lulus. “Nggak masalah kalau dosen ngerombak abis dari judul, namanya juga konsekuensi. Kan udah komitmen,” ujar Wahid.

Sejauh ini Wahid mengaku klien-kliennya puas terhadap jasanya. Dari testimoni kliennya itu, Wahid mendapat pelanggan baru. Saking asyiknya dengan bisnis ini, belum terpikirkan dalam benak Wahid untuk mencari pekerjaan lain.

“Lumayan easy money sih (bisnis joki skripsi). Nyari klien juga nggak perlu effort lebih. Paling klien dari mulut ke mulut. Jadi ya memang yang kenal-kenal saja,” tuturnya.

Berbeda dengan Wahid, Rianto—bukan nama sebenarnya—tak pernah menyangka bakal menjadi joki skripsi. Selepas menyelesaikan kuliah pada 2020, ia melamar pekerjaan sebagai asisten riset di salah satu LSM yang bergerak dalam isu budaya. Ternyata pria lulusan perguruan tinggi negeri ternama ini tidak mendapat tugas layaknya asisten riset. Ia malah dipekerjakan sebagai joki penelitian.

“Bosku itu ternyata memang nyari yang baru lulus dan hanya dari universitas tertentu. Akhirnya itu bukan asisten sih, itu lebih ngerjain semuanya tapi di bawah pengawasan bos. Tapi nyari data, nulis, itu semuanya dari aku,” ujarnya kepada reporter detikX.

Lantaran situasi awal pandemi COVID-19 menyulitkannya mencari pekerjaan, mau tak mau Rianto menyanggupi pekerjaan joki ini. Gaji yang diterima Rianto pun terbilang kecil jika dibandingkan dengan Wahid. Sehari Rianto menerima upah Rp 110 ribu.

Dengan gaji yang tak seberapa, Rianto mesti mampu merampungkan satu jurnal dalam jangka waktu seminggu. Berarti, untuk satu jurnal, pria berusia 26 tahun ini hanya menerima Rp 700 ribu. Padahal bos Rianto memasang harga hingga Rp 5 juta per tiga kali konsultasi.

Berarti, dalam satu produk karya ilmiah, bosnya meraih keuntungan hingga belasan juta rupiah. “Jadi klien membayar sejumlah hari. Bukan satu disertasi terus selesai. Bos hanya mensupervisi, mencari, dan mengambil data. Teori semuanya aku,” kata Rianto.

Latar belakang klien Rianto mulai mahasiswa, dosen, hingga pegawai pemerintahan yang bakal naik jabatan. Dia menjaring klien dari jaringan dosen. Bos Rianto dulu memang berprofesi sebagai dosen.

“Pertama kali itu (mengerjakan) jurnal waktunya pendek, cuma satu mingguan. Itu punya calon dekan di salah satu universitas di Bali. Itu temanya tentang kebijakan pengelolaan kebudayaan Bali,” cerita lelaki asal Kulon Progo, Yogyakarta, itu.

Dosen Pembimbing Dianggap Tak Kompeten 
Soni–bukan nama sebenarnya—mengeluh. Dia menganggap skripsinya tak kunjung rampung karena dihambat dosennya sendiri. Menurutnya, dosen pembimbing itu tak terlalu memahami topik skripsinya.

“Dari awal tuh ada saja hambatannya, tema gue komunikasi politik disuruh nambahin unsur agama sama budaya sesuai spesifikasi dia (dosen pembimbing). Kalau dia nggak ngerti topik skripsi gue, ya jangan salahin gue-lah. Kenapa jadi gue yang repot?” ujar Soni kepada reporter detikX.

Selama proses bimbingan, kata Soni, dosennya dominan mempermasalahkan hal teknis. Padahal dia berharap banyak agar kualitas skripsinya menjadi kaya karena substansi topiknya.

“Dua tahun gue bimbingan tuh, jujur saja, nggak ada insight yang bagus. Paling cuma harusnya penulisannya gininulis judul gini, skripsi yang bagus tuh template-nya gini,” tuturnya.

Bahkan, karena pembimbing skripsinya terdiri atas dua dosen, Soni akhirnya membuat dua format skripsi sesuai dengan masing-masing keinginan dosen tersebut. Berbagai masalah dari internal kampus itu membuat Soni tak betah. Akhirnya ia memutuskan memakai jasa joki skripsi.

“Gue mikirnya, daripada gue capek-capek pakai fungsi otak gue, mendingan cari orang buat joki skripsi. Terus gue kerja biar dapat duit,” ungkapnya.

Yanto—bukan nama sebenarnya—seorang penyedia jasa joki skripsi, mengaku rata-rata kliennya memang dipusingkan oleh dosen pembimbing yang tak kompeten.

“Jadi dosennya memaksakan mahasiswa mengerjakan topik-topik yang hanya si dosen ini pahami. Kedua, dosen yang sulit dihubungi dan cenderung menyalahkan mahasiswa tanpa memberikan solusi,” kata Yanto kepada reporter detikX.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam mengungkapkan dosen yang tak kompeten seperti itu seharusnya tak bekerja di lingkungan kampus.

“Kalau ada dosen yang (tak kompeten) seperti itu, ya nggak usah jadi dosen. Sangat tidak etis dan tidak memiliki sifat sebagai dosen,” kata Nizam kepada reporter detikX.

Di sisi lain, menurut Nizam, seharusnya mahasiswa juga tak menggunakan jasa joki skripsi. Sebab, hal itu adalah tindakan merugikan dan menipu diri sendiri.

“Masa depan ada di kompetensi yang dikuasai mahasiswa. Jadi menipu diri sendiri dengan melakukan kecurangan, nyontek, perjokian, itu identik dengan merusak masa depan sendiri,” ujarnya.

Repost dari: https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20221024/Di-Balik-Dapur-Bisnis-Joki-Skripsi/